Kisah sesungguhnya larangan dari Rasulullah, Kenapa Sayyidah Fatimah tidak boleh dipoligami oleh Ali bin Abu Tholib ?
Mari kita lihat pendapat putrinya nabi muhamamad, fatimah ketika hendak dipoligami sama Ali bin Abi Thalib,
Ali bin Abi Thali berniat menikahi putri Abu Jahal. Ali bin Abi
Thalib meminta izin kepada istrinya. mendengar berita itu, Fatimah
marah dan melaporkannya kepada ayahanda, Muhammad. Seketika nabi
Muhammad marah besar. para sahabat bersaksi bahwa mereka tidak pernah
melihat muhammad semarah itu. Muhammad berkata kepada putrinya, “engkau
adalah putriku. siapa yang membuatmu marah, berarti membuatku marah
juga.”
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadist Almiswar bin
Makhromah berkata : “Ali melamar putri Abu Jahal, lalu Fatimah
mendengarnya lantas ia menemui Rasul Saw berkatalah Fatimah : kaummu
meyakini bahwa engkau tidak pernah marah karena putrimu; Ali menikahi
putri Abu Jahal, maka berdirilah Rasulullah Saw dan saya mendengar
ketika dia membaca dua kalimat syahadat lalu berkata : aku menikahkan
anakku dengan Abul As bin Robi’ dan diatidak membohongiku, sesunggunhya
Fatimah itu bagian dari saya, dan saya sangat membenci orang yang
membuatnya marah. Demi Allah putri Rasulullah dan putri musuh Allah
tidak pernah akan berkumpul dalam naungan seorang laki-laki maka
kemudian Ali membatalkan (lamaran itu)”. diriwayatkan Bukhori dan
Muslim.
Rasulullah saw bersabda:
فاطمة بضعة مني يريبني ما أرابها ويؤذيني ما آذاها
“Fatimah adalah bagian dari diriku, menggoncangkan aku apa saja yang
menggoncangkan dia, dan menyakitiku apa saja yang menyakitinya.”
Rasulullah berkhutbah di dalam mesjid di hadapan kaum muslimin. di
situ hadir Ali bin Abi Thalib. maka Rasulullah berkata, “Demi Allah,
selama Fatimah adalah putri Rasulullah, maka aku tidak akan mengizinkan
putriku serumah dengan putri musuh Allah.”
Ali bin Abi Thalib pulang dari mesjid dengan sedih, karena merasa
telah membuat rasulullah marah besar. sesampainya di rumah, Ali bin Abi
Thalib langsung berbicara kepada Fatimah. “Wahai istriku, aku minta
maaf, karena telah berniat menikahi putri Abu Jahal. hari ini, dimesjid
rasulullah berkhutbah dan dengan marah mengatakan bahwa beliau tidak
akan mengizinkan engkau serumah dengan putri abu jahal. aku tidak ingin
membuat rasulullah dan putrinya marah. sudikah engkau memaafkanku?”
Fatimah menganggukan kepala dan menyatakan bersedia memaafkan Ali
Bin Abi Thalib.. yg akhirnya tidak melakukan poligami. na loh kalian yg
setujuh poligami !.. Fatimah aja nggak mau di madu !! Mengenai
Fathimah Azzahra ra tentulah tak mengingkari poligami, dan ia tak akan
mengingkari semua hukum Allah dan Sunnah Rasul saw.
Jawaban:
Sebagaimana ketika Usamah bin Zeyd ra meminta keringanan untuk
seorang wanita muhajirin yg mencuri, maka Rasul saw naik mimbar dan
berwasiat, “sungguh ummat sebelum kalian bila oran orang terhormat maka
diringankan atas mereka, bila kaum dhuafa maka didirikanlah hukum,
Demi Allah bila Fathimah putri muhammad mencuri maka Muhammad akan
memotong tangannya” (shahih Bukhari hadits no.6406).
ini menunjukkan bahwa tak mungkin Rasul saw mengajarkan sunnah
poligami namun melarang khusus untuk putrinya, maka ini adalah
pemahaman yg keliru, dan tentunya Putri Rasulullah saw ini sangat mulia
dg mencintai sunnah Nabi saw, dan bisa dipastikan bahwa wanita mulia
ini adalah wanita yg paling mencintai sunnah, karena Fathimah ra adalah
didikan Rasulullah saw.
Mengenai Rasul saw melarang Ali bin Abu Tholib berpoligami, itu
karena Ali Bin Abu Tholib berencana menikah dengan putri Abu Jahal,
dan tentunya Ali bin Abu Tholib ingin menyelamatkan putri Abu Jahal
yang muslimah dari kekejian ayahnya, namun Rasul saw tak menyetujui
itu, karena mensejajarkan putri beliau saw dengan Putri Abu Jahal akan
membuat fitnah baru dengan mengatakan bahwa Rasul saw memerangi kuffar
namun berbesan dengan musuh Allah, memerintahkan muslimin memerangi
orang orang kafir namun menyambung hubungan keluarga dengan pimpinan
Musuh Allah.
Kalangan antipoligami juga sering mengetengahkan hadits tentang
larangan Rasulllah saw terhadap Ali berpoligami saat masih beristeri
dengan puteri beliau, Fatimah ra. Mereka mengutip Hadits: Nabi saw
marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad saw,
akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu,
Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: “Beberapa
keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah (kerabat Abu Jahl) meminta izin
kepadaku untuk mengawinkan putri mereka (anak Abu Jahl) dengan Ali bin
Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak
akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib
menceraikan putriku terlebih dahulu, Fatimah Bagian dari diriku, apa
yang meragukan dirinya meragukan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya
menyakiti hatiku, aku sangat kwatir kalau-kalau hal itu mengganggu
pikirannya (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, Hadits: 9026).
Penggunaan Hadits ini untuk melarang poligami ternyata tidak sesuai
dengan latar-belakang pelarangan tersebut. Nabi saw melarang Ali ra
menikah lagi karena hendak dinikahi Ali ra anak musuh Allah Swt, Abu
Jahl. Menurut Rasulullah saw tidak layak menyandi putri utusan Allah
dengan putri musuh Allah. Sehingga, letak pelarangan tersebut bukan
pada poligaminya, namun lebih kepada person yang hendak dinikahi.
Beliau sendiri juga menegaskan, tidak mengharamkan yang halal dan
menghalalkan yang haram. Hal ini dapat disimpulkan dari Hadits yang
sama dari riwayat lain.
Dalam riwayat al-Bukhari, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya
Fatimah adalah dari diriku dan aku khawatir agama akan terganggu.
“Kemudian beliau menyebutkan perkawinan Bani Abdi Syams dan beliau
menyanjung pergaulannya, “Dia bicara denganku dan mempercayaiku, dia
berjanji padaku dan dia penuhi. Dan sungguh aku tidak mengharamkan yang
halal dan tidak pula menghalalkan yang haram, akan tetapi, demi Allah,
jangan sekali-kali bersatu putri Utusan Allah dengan putri musuh Allah.” (H.R. Bukhari)
Sebab yang paling mungkin adalah sesuai perkataan beliau sendiri,
bahwa mengguncang Fatimah sama saja dengan mengguncang Rasul. Beliau
mencintai putrinya dan tidak ingin membiarkan keguncangan (apapun yg
bisa beliau cegah, termasuk poligami) menyusahkan putrinya itu.
Rasulullah pastilah sangat mengenal putrinya, tahu apa yg sanggup
menguatkannya dan apa yg mengguncangkannya. Kalau Abu Bakar melepaskan
putrinya Aisya mjd istri ke-sekian Nabi, maka itu adalah hak Abu Bakar
karena ia mengenal putrinya itu. Tapi kalau Rasulullah melarang
putrinya di poligami, hadis itu memberi pelajaran pada saya, bahwa
seorang ayah bisa saja melepas putrinya dipoligami tapi bisa juga ia
mencegahnya.
Selain itu penolakan Fatimah untuk dipoligami adalah memang karena
Fatimah tidak siap dipoligami. Kesiapan setiap perempuan berbeda-beda.
Dan seorang laki-laki tidak bisa menyamaratakan semua perempuan.
Sebagaimana diisyaratkan dalam riwayat berikut ini:
Ibn Sa‘ad (168 H/764 M–230 H/845 M) dalam kitabnya, Al-Thabaqât
Al-Kabîr, mencatat dialog menarik berikut ini: Amrah binti Abdurrahman
berkata, “Rasulullah ditanya, ‘Rasulullah, mengapa engkau tidak
menikahi perempuan dari kaum Anshar? Beberapa di antara mereka
cantik-cantik.’ Rasulullah menjawab, ‘Mereka perempuan-perempuan yang
mempunyai kecemburuan besar yang tidak akan bersabar dengan madunya.
Aku mempunyai beberapa istri, dan aku tidak suka menyakiti kaum
perempuan berkenaan dengan hal itu.’”
Kesiapan mental setiap perempuan berbeda-beda. Karena itu, suami
bijak yang ingin meneladani Nabi tidak akan memaksakan kehendaknya
untuk berpoligami jika istrinya tidak siap dan sabar dimadu serta
sangat pencemburu. Sebab, Nabi pun tidak suka menyakiti perasaan
perempuan dalam hal ini. Memaksakan poligami terhadap istri yang tidak
sanggup dimadu hanya akan menimbulkan gejolak yang tidak perlu dalam
kehidupan berumah tangga. Ini tentunya menyalahi tujuan perkawinan
sebagaimana diajarkan Allah:
untuk menciptakan ketenteraman (sakînah) dalam hati suami-istri (QS Al-Rûm [30]: 21).
Kutipan dari ENSIKLOPEDI MUHAMMAD, Afzalur Rahman, Jilid 4 (Muhammad sebagai Suami dan Ayah), h. 99, Pelangi Mizan, 2009):
Tidak ada komentar:
Posting Komentar